Krisis
pangan kini mengancam hampir di seluruh pelosok dunia, tidak terkecuali
dengan Indonesia. Penyebabnya tidak lain adalah kenaikan harga produk
pangan yang sulit terbendung sejak dua tahun lalu dan terus berlanjut
hingga kini. Dampak krisis yang paling terasa akan dialami negara-negara
berkembang karena kemampuan produksi pangan mereka sangat terbatas.
Semua
ini tidak lepas dari kebijakan organisasi-organisasi dunia yang terus
mendorong liberalisasi perdagangan. Negara-negara berkembang yang
sebagian besar di Asia dan Afrika justru terperangkap dengan kebijakan
meliberalisasi sektor pangan.
Ancaman
krisis pangan dunia sebenarnya telah dikomunikasikan sejak 2006. Selama
enam tahun berturut-turut konsumsi biji-bijian pangan dunia lebih besar
daripada produksi dunia. Bahkan pada 1999, stok pangan dunia masih
dapat memenuhi kebutuhan selama 116 hari, tetapi pada 2006 hanya tinggal
57 hari.
Laporan Food and Agriculture Organization (FAO) yang berjudul “Growing Demand on Agriculture and Rising Prices of Commodities”
menunjukkan indeks harga pangan meningkat rata-rata 9% pada 2006
ketimbang tahun sebelumnya. Bahkan pada 2007 indeks harga pangan
meningkat 23% dibandingkan dengan 2006.
Dalam
Food Outlook yang dikeluarkan FAO hingga 2017 diramalkan harga pangan
akan terus meroket sejalan dengan lonjakan harga minyak mentah. Lonjakan
tersebut dipicu oleh kenaikan harga minyak makan sebesar 50%. Data
menunjukkan, bagaimana harga CPO di pasar internasional kini sudah
menembus harga Rp1.200 dolar AS/ton, padahal pada pertengahan tahun lalu
masih berada pada kisaran 600 dolar AS/ton. Apalagi kini penggunaan
produk CPO bukan lagi sekadar untuk minyak makan saja, tapi menjadi
bahan baku biodisel sehingga permintaan semakin besar.
Komoditi
serealia rata-rata naik 42%. Misalnya, harga jagung kini mencapai 500
dolar AS/ton dan cenderung bertambah naik sejak Desember 2007. Jika
dibandingkan year to year antara Januari 2007 dan Januari 2008
maka kenaikan harga jagung sudah lebih dari 26%. Harga komoditi jagung
pun diprediksi bakal terus bergerak naik menyusul penggunaan biofuel.
Hal
yang sama terjadi pada komoditi kedelai. AS sebagai salah satu produsen
terbesar di dunia mengurangi lahan kedelai karena dialihkan ke tanaman
jagung sebagai bahan baku biofuel. Akibatnya, harga kedelai di pasar
internasional menembus 1.250 dolar AS/ton. Di sisi lain, permintaan
terhadap komoditi tersebut tetap tinggi untuk makanan ternak dan
makanan.
Begitu
juga dengan komoditi gandum. Pada periode 2007/2008 diperkirakan
produksinya hanya 604 juta ton, ditambah stok periode sebelumnya
sebanyak 125 juta ton. Total pasokan menjadi sekitar 729 juta ton.
Artinya, dengan total kebutuhan gandum di seluruh dunia sebanyak 619
juta ton, stok akhir di pasar dunia hanya tinggal 110 juta ton.
Posisi
tersebut merupakan terendah sejak 1982. Pada 2006/2007 stok akhir
gandum mencapai 125 juta ton dan pada 2005/2006 sekitar 148 juta ton.
Kondisi itu menyebabkan harga komoditi gandum meroket menembus angka 320
dolar AS/ton. Padahal pada periode 2006/2007, harga gandum sekitar 200-an dolar AS/ton.
Setelah
beberapa komoditi pangan lainnya naik, kini menyusul beras. Harga
komoditi yang menjadi makanan pokok bangsa Indonesia ini di pasar
internasional juga naik hampir 50%. Contohnya, harga beras Thailand
broken 10% yang tahun lalu masih 326 dolar AS/ton, pada Maret 2008 sudah
mencapai 543 dolar AS/ton. Harga beras Vietnam broken 25% juga melonjak
sangat tinggi; tahun lalu masih 281 dolar AS/ton, kini sudah di atas
500 dolar AS/ton.
Dalam
laporan FAO tersebut, satu-satunya produk pangan yang turun hanyalah
gula, yakni turun 32%. Hal ini karena produksi gula di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia mengalami peningkatan, sedangkan konsumsi
gula relatif stabil. Bahkan selama periode 2007/2008 diperkirakan
produksi gula mencapai titik tertinggi.
Ekonom
Senior Organisasi Pangan Dunia (FAO), Concepcion Calpe, mengatakan
krisis pangan dipicu karena permintaan melebihi pasokan sehingga
harga-harga bahan pangan melambung.
Bahkan
Dirjen FAO, Jacques Diouf memprediksi harga beberapa bahan pangan tidak
akan pernah turun. Sebab, bahan pangan seperti jagung kini tak lagi
digunakan untuk makan, tetapi juga untuk bahan bakar ramah lingkungan
(biofuel). Akibatnya, stok global berkurang dan di pasar terjadi
spekulasi.
Kondisi
ini, menurut Diouf, jelas dapat memicu kerusuhan sosial. Warga di
negara-negara miskin tidak seberuntung warga di negara kaya yang masih
mampu membeli bahan pangan karena hanya mengeluarkan 10-20%
penghasilannya. Lain halnya dengan warga di negara berkembang yang harus
merogoh 50-60% pendapatan mereka untuk membeli pangan.
“Secara naluri, orang tak akan diam kalau kelaparan. Mereka pasti bertindak,” kata Diouf.
Berdasarkan
catatan FAO, sebanyak 37 negara menghadapi krisis pangan. Kebanyakan di
antaranya adalah negara-negara miskin di Afrika.
Selain
peringatan FAO, IMF (International Moneter Fund) menjadi lembaga global
yang juga memperingatkan dampak buruk naiknya harga pangan bagi warga
miskin. Direktur IMF, Dominique Strauss-Kahn, di Washington dalam
pertemuan dengan menteri keuangan mengatakan, banyak orang menghadapi
kelaparan yang kemudian bisa memicu keresahan sosial. Selama tahun lalu,
menurutnya, harga hasil panen yaitu beras, gandum dan jagung melonjak
tinggi. Beras, misalnya, naik 70%. Alasannya jelas, panen yang jelek,
karena tanah semakin kurang subur dan cuaca yang tidak karuan,
meningkatnya permintaan dan bertambahnya jumlah lahan untuk tanaman
bahan bakar nabati. “Harga yang lebih tinggi menyebabkan kesulitan bagi
banyak orang, menjerumuskan mereka untuk pertama kalinya ke bawah garis
kemiskinan,” katanya.
Siapa Biang Krisis?
Komite
Penghapusan Utang Negara-Negera Dunia Ketiga justru menilai kebijakan
imperialistik Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia sebagai
biang utama krisis pangan di negara-negara miskin. Dalam laporan
Televisi BBC, komite yang berpusat di Belgia itu menegaskan, IMF dan
Bank Dunia, sejak 20 tahun lalu memaksa negara-negara Selatan menerapkan
kebijakan yang dibuat dua lembaga dunia itu sehingga menyebabkan
kerugian besar negara-negara tersebut.
Komite
ini menambahkan, kini rakyat negara-negara Selatan terpaksa harus
membayar mahal program-program IMF dan Bank Dunia. Semestinya dua
lembaga itu yang menanggung dosa dari kesalahan tak terampunkan ini.
Kenaikan
harga pangan hingga menjadi ancaman krisis pangan yang kini dirasakan
berbagai negara dunia tidak lepas dari pengaruh perubahan kebijakan di
pasar global yang dibuat lembaga dunia tersebut. Salah satunya adalah
konversi produk pangan ke energi yang membuat harga pangan di pasar
internasional terkerek naik.
“Akibat
persaingan penggunaan produk pertanian untuk pangan dan energi,
Indonesia juga terkena impor dari krisis pangan. Padahal produksi pangan
kita cukup jika hanya untuk konsumsi,” kata Kepala Pusat Distribusi
Pangan Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian, Ning Pribadi.
Pengamat
Pertanian Bustanul Arifin menilai, sulit memprediki kapan terjadinya
krisis pangan karena banyak argumen dari para ahli. Namun demikian,
terjadinya lonjakan harga pangan di dunia karena memang ada permintaan
yang di luar prediksi normal, terutama untuk bahan baku biofuel.
Umumnya,
kata dia, negara berkembang memang tidak memprediksi akan terjadi
lonjakan harga. Karena itu, setelah 2006, negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia, mulai mengusahakan biofuel dari produk pangan secara
serius. “Jadi, kalau sebelumnya mereka (negara berkembang, red.) memproduksi hanya untuk pangan, lalu karena ada permintaan untuk biofuel, mereka pun memproduksi,” katanya.
Saat
ini produksi biodisel (pengganti solar) di dunia pada 2007 diprediksi
mencapai 11,75 miliar liter. Dari jumlah tersebut 43% berasal dari
kedelai. Jadi, masuk akal jika pada awal 2008 lalu harga bahan baku tempe-tahu ini melonjak sangat tinggi.
Adapun
bioetanol (pengganti premium) yang beradar di pasar dunia pada 2007
diperkirakan sebanyak 45 miliar liter. Ternyata, 50%-nya berasal dari
tebu dan 36% dari jagung. Karena itu, harga komoditi gula dan jagung di
pasar dunia juga melonjak.
“Faktor lain yang ikut menaikkan harga pangan adalah isu climate change.
Ini menyebabkan prediksi produksi pangan di beberapa negara menjadi
kacau. Kalau ada prediksi, mungkin tidak terlalu akurat,” tuturnya.
Lebih
parahnya lagi, menurut Bustanul, kondisi kenaikan harga ini
dimanfaatkan para spekulan yang mulai bermain di komoditas pangan.
Spekulan menganggap, bermain di pasar keuangan sudah tidak menguntungkan
lagi sehingga sekarang mereka beralih ke komoditas. Kondisi ini
terlihat pada pasar beras yang sebelumnya berada pada daftar terbawah
perdagangan saham, ternyata kini justru teratas.
Akibat peningkatan harga produk pangan tersebut, negara-negara yang selama ini menjadi net importer
bakal menanggung dampak cukup berat, yang juga mempengaruhi
kesejahteraan rakyat, karena devisa negara tersebut terbuang untuk
mengimpor produk pangan. Negara-negara yang selama ini menjadi net importer untuk produk pangan dan energi diperkirakan akan mengalami situasi lose-lose situation.
Laporan FAO yang berjudul “Growing Demand on Agriculture and Rising Prices of Commodities”
juga menyebutkan, negara-negara berkembang secara keseluruhan akan
merasakan kenaikan sebanyak 25% untuk biaya impor pangan dalam satu
tahun. Kenaikan yang nyata untuk biaya impor pangan tersebut nilainya
mencapai 745 miliar dolar AS pada 2007 atau naik 21% lebih tinggi
daripada tahun sebelumnya.
Food Trap
Namun, melihat volume impor komoditi pangan masih cukup tinggi, Indonesia
tetap harus mewaspadai kemungkinan buruk terhadap lonjakan harga di
pasar dunia. Tahun lalu Indonesia masih mengimpor kedelai sebanyak 1,3
juta ton, beras 1,5 juta ton, jagung sekitar 600 ribu-1 juta ton dan
gandum sekitar 4-5 juta ton.
Kemampuan
Pemerintah dalam mengendalikan lonjakan harga juga masih sangat lemah.
Paket kebijakan pangan yang disampaikan Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono justru lebih bersifat fiskal dan kapitalistik sehingga
cenderung membuka pasar terhadap komoditi impor. Lihat saja, Pemerintah
justru menghapus bea masuk impor kedelai dan gandum. Karena itu,
lonjakan harga komoditi pangan yang terjadi sulit dikendalikan
Pemerintah.
Bahkan
Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi (DPO) Himpunan Kerukunan Tani
Indonesia (HKTI) menganggap, bangsa Indonesia telah masuk dalam
perangkap pangan (food trap) yang diskenariokan oleh negara
maju. “Negara maju telah menyiasati kita. Mereka memang ingin mematikan
ekonomi kita,” tegas Siswono.
Hal
itu terlihat dari tingkat ketergantungan Indonesia terhadap produk
ekspor. Misalnya, untuk menutupi konsumsi daging, Indonesia harus
mengimpor sekitar 600 ribu ekor dari Australia, beras impor sebanyak
1,2 juta ton dari Thailand, kedelai 1,4 juta ton dari AS, jagung untuk
pakan ternak impor mencapai 10% dari total kebutuhan sebanyak 3 juta
ton. “Ketergantungan kita sekarang ini sudah sangat besar,” sesalnya.
Siswono
menilai, selama ini bangsa Indonesia didorong untuk makan roti dan mie
yang semua bahan bakunya gandum yang setiap tahun harus mengimpor
sebanyak 5 juta ton. “Ini untuk kepentingan siapa? Bahkan bea masuk
gandum nol persen dan PPN-nya ditanggung Pemerintah. Jadi, ada
kepentingan luar yang menyiasati. Tapi kita tidak sadar sudah masuk
dalam food trap,” tegasnya.
Akibatnya,
ketika harga pangan dunia melonjak yang terjadi di Indonesia bukan
hanya ancaman krisis pangan, tetapi juga krisis daya beli sehingga
masyarakat tidak mempunyai kemampuan membeli pangan. Meski Pemerintah
sudah menyediakan beras untuk masyarakat miskin (raskin) dengan harga
Rp1.600/kg, diperkirakan hampir 17% rakyat miskin tidak mampu membeli
beras.
Masyarakat
kini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Daya beli masyarakat yang
sudah rendah semakin terpukul dengan pergerakan harga pangan pokok.
Padahal jumlah penduduk miskin masih cukup besar. Dengan 19,1 juta RTM,
dipekirakan jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37,17 juta
jiwa. Yang sangat rawan pangan sebanyak 5,71 juta jiwa.
Sebuah Ironi
Ancaman krisis pangan di negara agraris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi
menjadi ironis. Krisis pangan yang terjadi di Indonesia adalah buah
dari kebijakan dan praktik privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi
sebagai inti dari Konsensus Washington.
Akibat
praktik itu semua, negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya
kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan
konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan, kita telah
bergantung pada mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan
raksasa.
Krisis pangan juga disebabkan oleh kebijakan dan praktik yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF) serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Negara pun dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas dan melakukan liberalisasi terhadap hal yang seharusnya merupakan state obligation terhadap rakyat.
Beberapa
kebijakan mempermudah perusahaan besar yang mengalahkan pertanian
rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang
Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 tentang
Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau
kartel di sektor pangan semakin terbuka.
Karena
itu, Pemerintah harus membuat perencanaan yang jelas, terukur dan
terarah dalam mengatasi persoalan krisis pangan dan melepaskan diri dari
perangkap yang dipasang negara-negara kapitalis. Apalagi ketahanan
pangan bukan sebatas dimensi ekonomi semata, tetapi juga merupakan
bagian dari ketahanan sosial politik bangsa. Jika Pemerintah tidak mampu
membuat strategi yang jitu, maka taruhannya adalah kerawanan pangan
yang semakin meluas. Saat ini saja ada 100 kabupaten yang rawan pangan.
Salah
satu yang harus menjadi fokus perhatian pemerintah adalah upaya
peningkatan produksi pangan, khususnya beras yang menjadi makanan pokok
bangsa Indonesia. Tidak kalah penting lagi adalah penguatan stok pangan
yang dimiliki Pemerintah.
Meski
banyak kendala dalam penyediaan pangan untuk rakyat, pemerintah harus
tetap menjamin seluruh kebutuhan primer masyarakat, terutama soal
pangan. Yang lebih penting lagi bagaimana meningkatkan daya beli
sehingga masyarakat mudah mengakses ketersediaan pangan. Apa artinya
swasembada pangan jika daya beli masyarakat tetap lemah.
Ketahanan
pangan merupakan salah satu masalah strategis yang hukumnya wajib
diperhatikan penguasa. Untuk itu, ketahanan pangan yang tangguh harus
didukung dengan kekuatan politik karena menjadi bagian dari kekuatan
negara dalam menjaga kedaulatan negara dari intervensi asing. Apalagi
kini, isu pangan menjadi alat politik bangsa-bangsa barat guna
mempengaruhi situasi politik suatu negara. [Yulianto]
Copy from http://ruqayyahafka.multiply.com/
No comments:
Post a Comment